Kepemimpinan Perempuan: Antara Budaya, Keberanian, dan Pembuktian

Image

Dewasa ini, partisipasi perempuan dalam sektor publik semakin meningkat, kesetaraan gender di level kepemimpinan masih jauh dari sempurna. Mengapa perempuan masih sulit menempati posisi kepemimpinan tertinggi?

_________________________________________________________________________

Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam mencapai kesetaraan gender. Hal ini tercermin dalam laporan Global Gender Gap Report 2023, yang menunjukkan kesenjangan gender yang signifikan, terutama dalam hal partisipasi ekonomi dan kepemimpinan politik. Dalam sektor ekonomi, hanya 31,7% perempuan yang menduduki posisi senior. Di sektor politik, perempuan hanya mengisi 21,6% kursi di parlemen dan 20,7% jabatan menteri.

Selama 78 tahun kemerdekaan, hanya satu perempuan yang berhasil menduduki posisi Presiden. Bahkan dalam kabinet pemerintahan saat ini, dari total 34 menteri, hanya enam yang perempuan. Fakta ini mencerminkan rendahnya keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan tingkat tinggi.

Ditambah lagi, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 menunjukkan bahwa jumlah penduduk laki-laki di Indonesia diperkirakan mencapai 140,8 juta jiwa, sedikit lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk perempuan yang mencapai 137,9 juta jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki potensi besar untuk berperan aktif dalam perekonomian negara dan menciptakan inovasi.

Hambatan tak kasat mata

Glass Ceiling Theory dapat menjelaskan adanya hambatan tak terlihat (namun terasa nyata) yang menghalangi perempuan atau kelompok minoritas untuk mencapai posisi kepemimpinan tertinggi. Hambatan tersebut disebabkan oleh stereotip gender, budaya patriarki, serta faktor struktural dan kultural yang masih menjadi penghalang.

Perempuan dalam kepemimpinan

Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan berbincang dengan seorang perempuan yang berhasil menembus batas tersebut: Yasnita, seorang dosen PPKn Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta. Ia juga menjabat sebagai Koordinator Pusat Pendidikan Sosial Humaniora dan Kajian Wanita LPPM UNJ, serta pimpinan dari Al-Falah Group, sebuah organisasi sosial yang bergerak di masyarakat Aceh Selatan.

Keterlibatan aktif Yasnita di ranah publik tak lepas dari dukungan yang diberikan keluarganya sejak kecil. Ia dibesarkan dalam keluarga yang mengajarkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Meskipun dalam ajaran agama Islam laki-laki dianggap sebagai imam dalam rumah tangga, keluarganya mendidik bahwa baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama dalam berjuang dan berkontribusi.

Meskipun begitu, menurutnya, budaya bukanlah peranan yang paling kuat dalam perjuangan perempuan menuju kesetaraan. “Kultur memang mempengaruhi, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana seorang perempuan membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Apakah ia ingin mewajarkan kebiasaan yang menempatkannya di rumah, atau mengubah nasibnya sebagai perempuan?” ucapnya dengan tegas.

Daripada budaya, Yasnita menekankan pada perubahan yang berasal dari diri perempuan, yaitu keberanian dalam membuat keputusan. Ia menyoroti bahwa perempuan sering kali ragu dalam mengambil keputusan, bahkan dalam hal-hal kecil. “Dalam rapat PKK, saya sering mendapati ibu-ibu tidak bisa memutuskan mau makan apa. Mereka lebih suka mengatakan ‘terserah saja’ atau ‘ikut suara terbanyak.’ Ini menunjukkan lemahnya kemampuan perempuan dalam mengambil keputusan, dan itu perlu dilatih.”

Bukan pemberdayaan perempuan, tapi perempuan berdaya

Dalam diskusi mengenai pemberdayaan perempuan, Bu Yasnita memiliki pandangan kritis. Menurutnya, istilah “pemberdayaan perempuan” kurang tepat. “Perempuan harus berdaya, bukan diberdayakan. Berdaya berarti perempuan memperjuangkan dirinya dan berdiri di atas kaki mereka sendiri,” tegasnya.

Namun, Bu Yasnita juga mengakui bahwa dalam kondisi tertentu, perempuan membutuhkan ruang dan kesempatan agar bisa mengembangkan dirinya. “Bukan diberdayakan orangnya, tapi ciptakan ruang dan kesempatannya,” tambahnya.

Maka dari itu, visi besarnya sebagai Ketua PKK adalah mendorong perempuan untuk berdaya, dengan memfasilitasi lingkungan yang memungkinkan perempuan untuk mengeksplorasi potensinya, berani menyuarakan pendapat, dan mengambil keputusan secara mandiri. “Stereotip yang memojokkan perempuan harus dihilangkan, dan perempuanlah yang harus membuktikan bahwa kita tidak seperti itu.”

Tantangan di Al-Falah Group: Menjadi Pemimpin Perempuan Pertama

Kisah kepemimpinannya di Al-Falah Group juga patut diapresiasi. Sebagai perempuan pertama yang memimpin organisasi tersebut sejak berdiri, ia harus menghadapi tantangan besar. Meskipun budaya masyarakat Aceh memberikan ruang kepada perempuan karena sistem kekerabatan yang bilateral, nyatanya dalam organisasi sosial kemasyarakatan masih jarang sekali perempuan menduduki jabatan tertinggi.

Yasnita dipilih melalui musyawarah besar dan dipercaya berkat dedikasi, konsistensi, serta keberaniannya berbicara di forum. “Sering kali dalam rapat besar, saya adalah satu-satunya perempuan di ruangan. Saya tahu bahwa beberapa laki-laki mengunderestimate saya, tetapi saya buktikan bahwa saya bisa mengambil keputusan dengan rasional,” katanya.

Sebagai seorang ibu dan perempuan karir

Bu Yasnita menunjukkan peran ganda yang luar biasa dalam mengelola waktu dan tanggung jawabnya. Dengan manajemen waktu yang baik, ia mampu membagi perhatian antara pekerjaan dan keluarga. Komunikasi yang terbuka dengan anak-anaknya membantu mereka memahami kesibukan ibunya dan terinspirasi oleh dedikasinya. Melalui pendekatan ini, Bu Yasnita tidak hanya mengajarkan nilai-nilai tanggung jawab, tetapi juga memberikan contoh nyata bahwa perempuan bisa berkarier sekaligus menjalankan tanggung jawab sebagai ibu.

Kesimpulan: Fokus membuktikan diri melalui kontribusi nyata

Sudah banyak contoh nyata bahwa perempuan mampu menembus hambatan-hambatan struktural dan kultural yang selama ini menghalangi mereka. Stereotip gender, beban ganda, dan glass ceiling masih ada, tetapi semakin banyak perempuan yang menunjukkan bahwa mereka bisa memimpin dengan cerdas, tegas, dan bijaksana.

Menurut Yasnita, sebagai seorang manusia kita harus memberikan kontribusi nyata kepada lingkungan sekitar. “Ketika kita berpikir tentang berkontribusi, maka di situ tidak ada lagi laki-laki dan perempuan. Kita adalah manusia yang sama-sama punya kewajiban untuk melakukan yang terbaik,” katanya dengan penuh semangat.

Kisah Ibu Yasnita memberikan pelajaran berharga bahwa kesetaraan gender bukan hanya soal menuntut hak, tetapi juga tentang membuktikan diri melalui kontribusi nyata. Dengan keberanian, dedikasi, dan manajemen diri yang baik, perempuan dapat mencapai posisi kepemimpinan dan diakui kemampuannya, tanpa harus terjebak dalam stigma dan stereotip yang menghalangi. Kesetaraan dalam kepemimpinan bukanlah utopia, melainkan sesuatu yang bisa dicapai melalui perjuangan dan pembuktian diri yang terus-menerus. Hesti/SIGMA TV UNJ

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top